![]() |
Keyakinan Keagamaan Adalah Hak Individu |
guru besar di bidang antropologi universitas diponegoro semarang, prof dr mudjahirin thohir ma, menilai keyakinan keagamaan adalah hak individu dalam berurusan dengan tuhan.
oleh karena untuk menghindari konflik tentang agama, setiap orang hendaknya memandang saudara yang tidak seagama, sebagai bagian dari ekspresi nurani sendiri sebagai manusia yang beradab.
pemikiran inilah yang mendorong mudjahirin menulis buku berjudul "multikulturalisme : agama, budaya, dan sastra.
buku yang merupakan jawaban atas keresahannya selama ini ketika melihat konflik-konflik agama, sosial, dan hukum yang terjadi di tanah air, diluncurkan, kamis (14/3/2013) di gedung nahdlatul ulama jawa tengah di semarang.
peluncuran buku tersebut ditandai dengan diskusi yang mengupas buku tersebut.
hadir sebagai narasumber abu hafsin (pengurus wilayah nu jateng) dan widya wijayanti (arsitek dan pengamat budaya).
bagi mudjahirin, konflik adalah sesuatu yang wajar yang terjadi sejak zaman manusia diciptakan tuhan.
namun dalam praktik kehidupan sehari-hari konflik yang mengatasnamakan agama sangat rentan terjadi, selama pandangan umat dari berbagai agama bahwa agamanya yang paling benar.
cara berpikir yang sempit yang memandang agama yang berbeda dengan agamanya sebagai ancaman sangat berbahaya.
"ini bahaya kalau pemikiran seperti itu lahir di indonesia yang plural.
harusnya setiap orang hidup nyaman di sini," paparnya.
bagi mudjahirin, memahami perbedaan sebenarnya bisa dilihat secara sederhana, ibarat di jalan raya banyak kendaraan yang menuju ke suatu tujuan, di tengah jalan itu masing-masing dengan kendaraannya saling memberi ruang agar semua bisa sampai ke tujuan.
"harusnya semua berpikir bagaimana sampai ke tujuan, dan tidak saling mengganggu satu sama lain.
boleh berhimpitan di jalan tapi jangan saling menabrak, karena kalau itu terjadi tabrakan yang rugi kita semua," katanya.
sayangnya, kata mudjahirin, realita di lapangan, sebagian orang bukan hanya berpikiran sempit, tetapi juga memanfaatkan konflik perbedaan tersebut untuk kepentingan tertentu.
maka, tak heran radikalisme pun muncul.
ironisnya, pemerintah dalam menyelesaikan masalah tersebut sering tidak ada keadilan.
ketidakadilan itulah yang merupakan sumber letupan konflik.
ia menilai, agama yang memengaruhi watak para pemeluknya dalam corak watak radikal bisa jadi karena agama disosialisasikan kepada umat dengan cara egois.
dalam konteks ini, para pengajar agama mengajarkan agama dalam "rumah tanpa jendela" sehingga tidak memberi ruang bagi umat untuk melihat pemeluk agama lain yang juga sedang menyakini agama mereka.
"di sinilah awal mula kemunculan sikap pemeluk agama yang tidak toleran," katanya.
melalui buku, mudjahirin juga mengulas bagaimana pendekatan agama secara budaya.
oleh karena itu, perlu ada penataan ulang keberagamaan masyarakat dalam kehidupan yang majemuk.
editor :
sumber: www[dot]kompas[dot]com
Post a Comment