Home » » Pilih Setia Mayasari atau Hidup Indekos

Pilih Setia Mayasari atau Hidup Indekos

Written By laso on Friday 29 August 2014 | 14:15









, SURABAYA-USIA Suryo sudah memasuki 52 tahun. Tapi, ia masih begitu menikmati perjalanan rutin setiap hari, Malang-Surabaya. Pagi sebelum matahari terbit, Suryo sudah menyisir jalur dari Malang menuju Surabaya. Lalu, petang atau malam, ia sudah kembali berkumpul dengan keluarga di Blimbing, Malang.Rutinitas Suryo menyisir jalan ini bukan dilakukan dengan kendaraan pribadi, melainkan menggunakan kendaraan umum, tepatnya bus antar kota dalam provinsi (AKDP). Rutinitas perjalanan ke Surabaya dilakukan karena di Kota Pahlawan inilah Suryo mengumpulkan rezeki. Ia bekerja pada sebuah perusahaan swasta di kawasan Margomulyo.Di saat jalanan macet sekarang ini, Suryo tetap saja tak ingin mengubah rutinitas. Tidak ada keinginan sedikitpun untuk indekos, apalagi pindah rumah di Surabaya atau di Gresik yang lebih dekat dengan kantor.“Saya nggak betah tinggal di Surabaya. Udaranya gerah. Daripada tidak bisa tidur, lebih baik PP Surabaya-Malang saja. Yang penting di rumah bisa istirahat,” tutur Suryo.Lagi pula, tiga tahun lagi juga sudah pensiun. Perusahaan tempat Suryo bekerja mematok usia pensiun, 55 tahun. “Jadi dikuat-kuatin saja, wong tinggal tiga tahun,” katanya.Sembari tersenyum, Suryo bercerita dirinya baru menyadari, rutinitas ‘mengukur jalan’ setiap hari ternyata sudah dijalani selama 20 tahun lebih. Saking lamanya menjadi penumpang bus, ia pun menyebut dirinya sebagai penumpang setia bis Mayasari. “Mayasari itu ada kepanjangannya lho. Malang Surabaya setiap hari ha ha ha ,” kata Suryo sembari tertawa.Suryo masih ingat awal-awal menjalani rutinitas itu pada 1990-an. Ketika itu karcis bus ekonomi Malang-Surabaya baru Rp 700. Sekarang pada 2014, karcis bus yang sama sudah menjadi Rp 13.000.Situasi jalan di tahun-tahun awal itu juga masih relatif lengang. Jalan tidak selebar sekarang, tapi kemacetan belum parah. Kendaraan tidak membanjir seperti sekarang ini.Saat jalanan masih lancar, Suryo biasa berangkat dari Malang sekitar pukul 06.00 WIB. Perjalanan ke Surabaya maksimal dua jam. Jadi, masih ada waktu satu jam untuk mempersiapkan kerja yang dimulai pukul 09.00 WIB.Kini setelah kemacetan terjadi, Suryo harus menyiasati dengan berangkat lebih pagi. Paling telat ia berangkat pukul 05.00 WIB. “Saat berangkat jam lima pagi itu belum terasa macet. Baru waktu pulangnya mulai merasakan, biasanya terjadi (macet) di kawasan Arteri Porong, Purwosari, Lawang, dan Singosari,” ujarnya.Akibat macet sehari-hari itu, Suryo mengaku semakin panjang saja waktu yang harus terbuang di jalan. Rata-rata ia baru bisa sampai rumah pukul 21.00 WIB. Kadang bisa lebih larut lagi. Padahal, dulu sebelum kemacetan parah terjadi, pukul 19.00 WIB ia sudah bisa makan malam bareng keluarga di rumah.Beda Suryo, beda pula Deddy. Karyawan bank BUMN di Surabaya asal Malang ini memilih indekos di Surabaya dari pada terjebak macet setiap hari. Ia rela tidak kumpul istri dan seorang anaknya yang menetap di Malang. “Kalau tiap hari kena macet pas berangkat atau pulang kerja, badan capek nyetir bisa-bisa celaka di jalan. Jadi, daripada pekerjaan tidak maksimal, pulang ke Malang cuma tiap Jumat saja setelah kerja,” kata Deddy.Bagi Deddy, kemacetan yang kerap dialaminya saat perjalanan Malang-Surabaya dan sebaliknya adalah hal yang harus disiasati. Seandainya ada jalur alternatif ataupun jalan tol yang bebas dari kemacetan, bukan tidak mungkin dia akan lebih memilih untuk tidak lagi indekos dan pulang ke kediamannya di Malang setiap hari. “Kalau ada jalan tol atau jalan alternatif, orang-orang seperti saya ini bisa tiap hari pulang ke Malang mas,” ucapnya.





Source from: surabaya[dot]tribunews[dot]com
Bagikan Berita :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Lensa Berita - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger